Rabu, 26 Juni 2013

Peliknya Masalah Kependudukan di Indonesia


Oleh:
Ahmad Said Baashen
Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung,
Duta Mahasiswa GenRe Kota Bandung 2013 yang tertarik pada bidang kebahasaan, kependidikan, kependudukan, dan kebudayaan.

            Di atas tataran meja debat dan diskusi, isu kependudukan terus dibahas, formula-formula baru yang menurut sebagian ahli akan mengurai benang kusut kependudukan terus “diujicobakan”. Terlebih menjangkau bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia diperkirakan akan menghadapi persoalan kependudukan yang mahadahsyat. Bangsa ini diprediksi akan menghadapi triple burden, yakni peningkatan jumlah penduduk balita, remaja, dan lanjut usia (lansia). 
            Jika ledakan penduduk tidak segera diatasi dampak yang paling terlihat adalah persoalan sosial. Angka kemiskinan dan pengangguran pun akan terus meningkat secara signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga September 2012 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 29,13 juta orang. Seolah tak ingin ketinggalan, angka pengangguran juga juga meunjukkan tren yang sama, yakni jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 7,2 juta orang.
            Ledakan jumlah penduduk juga berdampak pada kualitas pendidikan dan indeks pembangunan manusia. United Nations Development Program (UNDP) menyebutkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2011 berada pada urutan 124 dari 187 negara dengan skor 0,617. Peringkat ini turun dari peringkat 108 pada 2010. Di ASEAN, Indonesia hanya unggul dari Vietnam, yang memiliki nilai IPM 0,593, Laos 0,524, Kamboja 0,523, dan Myanmar 0,483.
            Paket masalah kependudukan ini telah menjadi induk dari berbagai masalah lain. Apabila tidak segera ditangggulangi tidak mustahil mendatangkan efek yang lebih parah lagi dan dapat melumpuhkan pembangunan nasional. Seolah mendapat pekerjaan rumah tambahan, pemerintah pun akan semakin sulit untuk memperbaiki masalah kesehatan, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, pangan, dan masalah lain jika jumlah penduduk terus bertambah tanpa kendali. Jika masalah kependudukan tidak bisa diatasi dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis sosial atau bahkan masalah disintegrasi bangsa.
            Aspek kependudukan juga memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun bangsa yang mandiri. Sebagai negara yang memiliki luas 1.904.345 km persegi, Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang mandiri jika sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kebutuhan dan kemakmuran rakyat. Untuk mencapai itu semua diperlukan sebuah komitmen dalam mengatur jumlah penduduk. Memberikan sanksi bagi masyarakat yang tidak setuju dengan upaya pemerintah dalam mengendalikan jumlah penduduk nampaknya bukan merupakan pilihan yang tepat. Lalu bagaimana?

            Diperlukan langkah strategis nan ciamik guna mencerdaskan masyarakat akan manfaat mengendalikan jumlah penduduk itu sendiri. Pertama, menggiatkan kembali program KB adalah salah satu solusinya. KB yang sempat booming di era Presiden Soeharto ini, kini mulai tidak diminati masyarakat. Padahal, KB memiliki track record yang baik di beberapa negara dan KB -yang biasa dikenal sebagai family planning di beberapa negara lain- juga dianggap sebagai salah satu solusi paling ampuh guna memerangi lonjakan penduduk tak terkendali. Sebut saja Cina, negara di kawasan Asia Timur yang berhasil mengerem populasinya berkat family planning ini.
            Kedua, mengadakan Pendidikan Kependudukan juga sebuah cara yang tak boleh dipandang sebelah mata, pada hakikatnya Pendidikan Kependudukan adalah cara pendekatan lain terhadap masalah kependudukan, bukan hanya pendidikan seks, tetapi juga pendidikan keluarga berencana. Lebih jauhnya, Pendidikan Kependudukan dapat menimbulkan motivasi bagi perencanaan keluarga.
            Ketiga, memberikan pemahaman tentang administrasi kependudukan juga tak kalah penting, hal ini dimaksudkan agar masyarakat menjadi paham dan sadar akan pentingnya dokumen kependudukan seperti kepemilikan KTP, KK, dan surat-surat kelahiran. Dengan ini, semoga ke depannya, kasus anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena absennya administrasi kependudukan miliknya –seperti yang sempat hangat beberapa waktu lalu di Surabaya- tidak terulang kembali.
            Keempat, transmigrasi pun yang sempat adidaya pada era orde baru perlu digaungkan kembali, transmigrasi yang didefinisikan sebagai perpindahan tempat, suatu gerakan yang mempunyai motivasi, dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya, (Suyitno, 1980:116) oleh beberapa pakar dianggap sebagai salah satu cara yang sangkil dan mangkus guna meningkatkan pemerataan pembangunan.
            Besar harapan, semoga dengan diterapkannya upaya-upaya di atas, masalah kependudukan di Indonesia, seperti jumlah penduduk yang besar, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, komposisi umur penduduk yang timpang, dan masalah mobilitas penduduk yang rendah bisa diminimalisasi sebagaimana tertuang dalam visi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang keberadaannya dikuatkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2010 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014, yakni  “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015” dengan misi “Mewujudkan Pembangunan yang Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” sesuai cita-cita pendahulu kita. Semoga!