Advokasi itu identik dengan kerja keras serta perang urat
syaraf, hal-hal yang bisa jadi mengakibatkan stres dan membuat pikiran kita bekerja
lebih keras dari biasanya. Advokasi boleh dikatakan bukanlah tempat untuk mencari
kesenangan duniawi ataupun ajang unjuk gigi. Namun, entah mengapa, tak sedikit
orang yang menggelutinya. Semangat persaudaraan yang tinggi, keinginan untuk membela
sesuatu yang dianggapnya benar, dan keprihatinan atas ketidakadilan yang
mewarnai kehidupan rekan-rekan difabel --yang merupakan sebuah fenomena kompleks, yang
mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari
masyarakat tempat dia tinggal-- yang
kurang beruntunglah yang membuat beberapa orang yang saya temui sore tadi tetap
bertahan di dunia advokasi yang sedikit keras ini.
Dalam kamus hukum, kata ‘advokasi’ adalah kata kerja yang
berasal dari kata benda ‘advocaat’ (Belanda) yang memiliki arti: penasihat
hukum, pembela suatu perkara, atau pengacara (orang yang menjalankan hukum
acara). Advokasi sendiri bisa diartikan sebagai proses pembelaan suatu perkara
dalam koridor hukum yang berlaku.
Di dalam dunia hukum dikenal beberapa macam advokasi, antara
lain sebagai berikut:
1.
Advokasi litigasi dan advokasi
nonlitigasi (di dalam pengadilan dan di luar pengadilan),
2.
Advokasi kasus dan advokasi nonkasus
(berkaitan dengan kebijakan),
3.
Advokasi pengorganisasian dan
advokasi legislasi (atas dan bawah), dan tak lupa
4.
Advokasi pemenuhan hak asasi,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Menilik
jenis-jenis advokasi di atas, maka jelaslah sudah bahwa advokasi bukan hanya
pekerjaan yang dilakukan oleh pengacara di dalam ruangan sidang kawan, tapi
lebih dari itu, kegiatan pembelaan (advokasi) pun bisa dilakukan oleh
perseorangan atau kelompok di luar pengadilan, termasuk kita.
Dalam mengemban tugas, seorang advokat tidak boleh bertindak
sembarangan. Profesi ini memiliki kode etiknya tersendiri. Ia harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Ia harus bekerja secara profesional,
missal: dalam hal memanajemen konflik.
2.
Ia harus mendampingi korban dari
awal hingga akhir kasus (selesai).
3.
Ia harus bisa menjaga rahasia, nama
baik korban, serta identitas pelapor.
4.
Ia harus bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
5.
Ia tidak diperbolehkan menerima suap
dalam bentuk dan cara apapun.
6.
Ia wajib membela kebenaran dan
keadilan, khususnya bagi kaum tertindas.
Seorang advokat yang tidak mampu bekerja secara profesional,
tidak bisa memanajemen masalah yang ia hadapi, meninggalkan korban di tengah
proses kasus, tidak bisa menjaga rahasia dan nama baik korban, serta identitas
pelapor, tidak bekerja sesuai koridor hukum yang ada, menerima suap dan tidak
membela kebenaran dan/atau keadilan tentu hanya akan semakin memperparah
ketidakadilan di negeri ini.
Terlebih bila kita melihat kondisi negeri ini, di mana
keadilan sudah menjadi barang superior yang sulit dinikmati masyarakat
kebanyakan, termasuk rekan-rekan difabel yang menurut referensi mainstream sering didefinisikan sebagai setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Cobalah
tengok kondisi setiap kali diadakan open
recruitment atau penerimaan pegawai baru baik di sektor swasta, maupun di lingkungan
pemerintahan yang seharusnya prorakyat, dalam hal ini tidak membeda-bedakan.
Nampak, antrean orang berjubel yang begitu panjang berniat satu yaitu untuk
berkompetisi merebut formasi pekerjaan tertentu yang amat sangat terbatas. Jika
masyarakat umum saja merasakan sulitnya memperoleh pekerjaan dewasa ini, kaum
penyandang disabilitas mungkin merasa jauh lebih sulit lagi. Bagaimana tidak,
karena citra diri mereka --tanpa melihat potensi kerja yang melekat padanya--
mengalami degradasi nilai akibat stigmatisasi dalam bentuk stereotipe dan prejudisme
dari kalangan yang memegang otoritas pekerjaan. Asumsi yang salah dan lebih
bersifat merusak tersebut terkuak secara gamblang lewat pemberitaan di tabloid
Nyata pada tanggal 11 Maret 2006 yang mengisahkan nasib Tantri Maharani
(tunanetra yang tinggal di Kota Surabaya) yang mengaku sering putus asa
lantaran lamarannya untuk bekerja sesuai bidang keahliannya selalu ditolak oleh
pihak perekrut. Hal tersebut bisa terjadi lebih karena Tantri adalah seorang
tunanetra yang danggap tidak sehat jasmani sebagaimana disyaratkan oleh PP. No.
26 Tahun 1977 Jo. Permenkes No. 143 Tahun 1977 tentang pemeriksaan kesehatan
bagi CPNS.
Tidak berhenti sampai
di situ, kekerasan di beberapa aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, dll.),
undang-undang yang masih bersifat lip
service, inkonsistensi dan kontradiksi hukum yang berlaku, hingga
pemerintah yang (masih) kurang tanggap masih menjadi dilema bagi rekan-rekan
yang berkebutuhan dan berkelebihan khusus di Indonesia.
Jikalau ada, program
kebijakan pemerintah bagi penyandang disabilitas (kaum difabel) cenderung
berbasis belas kasihan (charity), sehingga kurang memberdayakan
penyandang disabilitas untuk terlibat dalam berbagai masalah. Kurangnya
sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas menyebabkan
perlakuan stakeholder unsur pemerintah dan swasta yang kurang peduli
terhadap kaum difabel Indonesia.
Statistik menerangkan
bahwa ternyata sedikitnya 10% dari total penduduk Indonesia adalah kaum
penyandang disabilitas yang turut menyumbang sebanyak 15% jumlah kaum difabel
dunia. Dari jumlah itu, 26 juta di antaranya merasa tersisihkan, terkucil, dan tertindas
bahkan teraniaya.
Fakta ini diutarakan
Fadilah Putra selaku Ketua Pusat Layanan dan Disabilitas Univeristas Brawijaya dalam
seminar bertaraf internasional yang bertajuk "Inclusive Education in University" di
kampus Univeristas Brawijaya, Malang belum lama ini. Menurut Fadilah, para
penyandang disabilitas ini sangat berhak memiliki aksesabilitas yang sama dengan
masyarakat lainnya dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Sebab,
diskriminasi terhadap kecacatan adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM).
"Sayangnya, 10%
penduduk Indonesia yang
disable itu tidak bisa meraih pendidikan dalam jumlah luas,
terutama pada perguruaan tinggi," kata Fadilah, seperti dilansir laman
berita Univeristas Brawijaya, Prasetya
Online
Fadilah mengimbuh,
pada 2010, hanya 0,95% penyandang disabilitas yang berkesempatan mengenyam
pendidikan sarjana; dan lebih sedikit lagi (0,04%) yang bisa mencicipi bangku
S-2 dan S-3. Kebanyakan, para penyandang disabilitas hanya dapat menikmati
pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah, imbuhnya lagi.
Hal yang amat
disayangkan ialah Indonesia merupakan negara yang memiliki komitmen tinggi
dalam pendidikan. Komitmen suci tersebut pun telah diikrarkan oleh para Bapak
Bangsa kita dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi
tertinggi Negara tercinta ini, dan sebagai manifestasi komitmennya, pemerintah
menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga dari mulai jenjang pendidikan
dasar hingga ke level perguruan tinggi. Sayangnya niat yang mulia ini hanya
indah di atas kertas, hanya indah sebagai retorika.
Fakta lain menunjukkan, di daerah DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta sudah mengeluarkan Peraturan
Daerah mengenai penyandang disabilitas, yakni Perda No. 10 Tahun 2011. Namun, konteks nyatanya berbicara lain,
Perda ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan dan
diharapkan. Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas sampai saat ini masih
belum juga terealisasikan. Cukup banyak kendala yang datang, terutama dari
kalangan pemerintah itu sendiri. Namun, harus kita akui bahwa Pemprov DKI
Jakarta memang sudah berupaya membuat langkah-langkah positif demi terciptanya
kehidupan yang inklusif antara penyandang disabilitas dan masyarakat pada
umumnya di daerah DKI Jakarta khususnya. Akan tetapi kita juga harus tahu,
bahwa apapun program yang pemerintah buat tanpa adanya keseriusan dan kerjasama
yang konstruktif dalam menangani program tersebut, dan juga jika tim pelaksana
di lapangan masih belum melakukan tugasnya dengan baik, maka akan terbuang
sia-sia semua anggaran yang telah terkucur demi program tersebut. Satu hal lagi
yang paling penting, yakni dukungan
dari masyarakat umum. Minimnya dukungan dari masyarakat umum terhadap
sebuah program yang diniatkan demi penyelarasan hak-hak penyandang disabilitas --yang
terdefinisikan sebagai istilah payung, yang meliputi gangguan, keterbatasan
aktivitas, dan pembatasan partisipasi, di mana gangguan ini adalah sebuah
masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah
kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan,
sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu
dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan-- ini,
membuat program pemerintah ini juga sulit terealisasikan.
Keterbatasan
Bukan (Lagi) Pembatas
Mari kita lupakan sejenak permasalahan keadilan di Indonesia
yang boleh diibaratkan layaknya mengurai benang kusut. Siapa yang tak kenal
Beethoven (komponis tunarungu yang dahsyat dan terkenal sepanjang masa yang
bernama lengkap Ludwig van Beethoven)? Komposisi musiknya yang dahsyat sempat
menjadikannya salah satu orang paling berpengaruh di dunia. Menjadi seorang
difabel bukan berarti kalian tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa kami
lakukan, Menjadi seorang penyandang disabilitas adalah takdir Tuhan yang tidak
bisa kita pertanyakan ataupun keluh kesahkan. “Syukuri apa yang ada, hidup
adalah anugerah,” begitulah kata lagu yang sempat populer beberapa tahun ke
belakang. Selain tokoh di atas, tak sedikit pula penyandang disabilitas lain
yang malang melintang di layar kaca karena kebolehannya antara lain; ada
pelukis yang tunanetra (orang yang tidak dapat meilhat), ada tunadaksa (orang
yang menderita cacat tubuh) yang sukses berbisnis, ada pula tunaganda (orang
yang menderita lebih dari satu: mental dan fisik) yang mengabdikan hidupnya
untuk kesejahteraan sesama. Dalam firman-Nya Tuhan berkata bahwa setiap hamba
adalah sama di hadapan-Nya, tidak ada apapun yang membedakannya kecuali amal
ibadahnya, jika hendak kita telisik lebih dalam, tak ada keraguan di dalam
perkataan-Nya. Kita sama. Tak ada bedanya. Kami bisa melakukan sesuatu, kalian
juga. Kami bisa berkarya dan berprestasi kalian juga, asalkan kalian percaya.
Kini, kian banyak yang mulai peduli terhadap masalah yang cukup pelik ini,
peraturan perundang-undangan yang ada pun nantinya akan lebih mendukung
terhadap pergerakkan rekan-rekanku yang luar biasa ini. sedikit banyak hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia merindukan seluruh putra-putrinya untuk
bersama-sama membangun negeri tanah air tercinta, seperti sekelompok orang yang
sungguh menginspirasi yang baru saja kutemui. Indonesia membutuhkan kalian.
Indonesia membutuhkan kita semua. Jujur, terkadang saya iri dengan semangat
kalian, saya iri dengan tekad kuat kalian, tapi itulah yang membuat kalian
spesial . Sekarang, genggam erat tangan saya, kita songsong masa depan yang
lebih baik lagi. Bersama membuat segalanya terasa lebih indah dan lebih mudah
kawan. Masa depan cemerlang ada di tangan kita J.
Semangaaat !