Rabu, 28 Desember 2011

Si Paris dari Jawa

1.      Bandung At A Glance
Bandung, Bandung, Bandung Nelah Kota Kembang
Bandung, Bandung, Sasakala Sangkuriang
Dilingkung Gunung, Heurin Ku Tangtung, Puseur Kota Nu Mulya Parahyangan
Bandung, Bandung, Pangbeubeurah Nu Nandang Muyung
Kota Bandung adalah ibu kota Provinsi Jawa Barat yang berpenduduk sekitar 2,5 juta orang. Dengan kepadatan sekitar 155 jiwa per hektar, kota ini merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta, dan Surabaya, dan kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Selain itu, bandung juga banyak melahirkan banyak musisi-musisi terkenal, sehingga Bandung mendapat julukan Kota Musisi. Pada zaman dahulu ia dikenal sebagai Parijs van Java (bahasa Belanda) atau "Paris dari Jawa" dan pernah diniatkan menjadi ibukota Hindia-Belanda. Secara geografis, Bandung terletak di dataran tinggi, sehingga berhawa lebih sejuk bila dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Kota kita yang satu ini pun menyimpan sejarah penting bagi Indonesia. Di kota ini berdiri perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia (Technische Hoogeschool, sekarang ITB), menjadi ajang pertempuran di masa Revolusi Kemerdekaan, serta menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika 1955 --suatu pertemuan yang menyuarakan semangat anti kolonialisme--, bahkan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya mengatakan bahwa Bandung adalah ibu kotanya Asia-Afrika. Tak pelak Bandung saat ini menjadi salah satu kota tujuan utama pariwisata dan pendidikan.
2.      Asal-usul Nama Kota Bandung
Kata "Bandung" berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung mengatakan bahwa nama "Bandung" diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II , untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.  Pendapat lain menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung. Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa holosen  (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar dekade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.
3.      Era Pajajaran
Pada tahun 1488, daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung tadinya adalah ibukota Kerajaan Pajajaran. Tetapi dari penemuan arkeologi kuno, kita mengetahui bahwa kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Orang-orang ini tinggal di pinggiran Sungai Cikapundung --yang kini tak layak huni-- sebelah utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung yang terkenal. Artifak batu api masih dapat ditemukan di daerah Dago atas dan di Museum Geologi terdapat gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak.
Pada umumnya masyarakat Sunda adalah petani-petani yang bergantung pada kesuburan tanah di Bandung. Mereka mengembangkan tradisi lisan yang hidup yang didalamnya mencakup pertunjukan wayang golek, dan banyak jenis pertunjukan musik lainnya.
4.      Era Kolonial Belanda
 
Pencapaian dari petualangan bangsa Eropa untuk mencoba keberuntungan mereka di tanah yang subur di Bandung, mengarahkan mereka akhirnya pada tahun 1786 saat pembuatan jalan dibangun menghubungkan Jakarta, Bogor, Cianjur dan Bandung. Arus ini meningkat pada tahun 1809 saat Louis Napoleon, penguasa Belanda, memerintahkan Gubernur Jendral H.W. Daendels,  untuk meningkatkan pertahanan di Jawa melawan Inggris. Visinya adalah sebuah unit rantai pertahanan dan sebuah jalan untuk persediaan barang antara Batavia dan Cirebon. Tapi daerah pantai ini banyak terdapat rawa-rawa, dan lebih mudah untuk membangun jalan ke arah selatan, melewati dataran tinggi Priangan.
The Groote Postweg (Jalur Pos Terhebat) dibangun 11 mil ke arah utara sampai ke jantung kota Bandung. Daendels memerintahkan bahwa ibukota direlokasikan ke jalan tersebut. Bupati Wiranatakusumah II memilih sebuah tempat di bagian selatan jalan (dari sisi sungai sebelah barat Cikapundung), dekat sepasang sumur keramat, Sumur Bandung, yang menurut rumor dilindungi oleh dewi Nyi Kentring Manik. Di daerah ini dia membangun dalemnya (istananya) dan alun-alun (pusat kota). Mengikuti orientasi tradisional, Mesjid Agung di tempatkan di sisi selatan, dan pasar tradisional di sisi timur. Rumahnya dan Pendopo (tempat pertemuan) terletak di bagian selatan menghadap gunung keramat Tangkuban Perahu. Saat itulah Kota Kembang lahir.
Sekitar pertengahan abad ke 19, teh Assam, dan kopi diperkenalkan pada dataran tinggi. Pada akhir abad itu Priangan terdaftar sebagai daerah pertanian paling menguntungkan se-provinsi. Pada tahun 1880 rel kereta api menghubungkan Jakarta dan Bandung telah selesai, dan menjanjikan perjalanan selama 2 1/2 jam dari keramaian ibukota Jakarta ke Bandung.
Dengan perubahan gaya hidup di Bandung, hotel, café pertokoan muncul untuk melayani para petani yang entah datang dari dataran tinggi atau dari ibukota sampai di Bandung. Kalangan masyarakat concordia terbentuk dan dengan ruang tarinya yang besar merupakan magnet yang menarik orang untuk menghabiskan akhir pekan di kota. Hotel Preanger dan Savoy Homann adalah hotel-hotel pilihan. Tak lupa Braga yang di sepanjang trotoarnya terdapat toko-toko eksklusif Eropa.
Dengan adanya rel kereta api, cahaya perindustrian berkembang. Begitu panen tanaman mentah dapat langsung dikirimkan ke Jakarta untuk pengiriman lewat laut ke Eropa, sekarang proses utama dapat dilakukan secara efisien di Bandung.
Orang Cina yang tidak pernah tinggal di Bandung berangsur-angsur datang untuk membantu menjalankan beberapa fasilitas dan mesin dan pelayanan bagi industri-industri baru. Pecinan muncul pada masa ini.
Pada masa awal abad ini, Pax Neerlandica diproklamasikan, menghasilkan perubahan dari pemerintahan militer menjadi sipil. Dengan ini muncul polis tentang desentralisasi untuk meringankan beban administrasi dari pemerintahan pusat. Dan demikianlah Bandung menjadi kotamadya pada tahun 1906.
Perubahan ini memberikan dampak besar pada kota. Balai kota dibangun di ujung utara Braga untuk mengakomodasi pemerintahan yang baru, terpisah dari sistem masyarakat yang asli. Ini kemudian diikuti oleh pengembangan yang jauh lebih besar saat markas besar militer dipindahkan dari Batavia ke Bandung sekitar tahun 1920. Tempat yang dipilih adalah di bagian timur Balai Kota, dan yang di dalamnya terdapat tempat tinggal bagi panglima perang, kantor, barak, dan gudang persenjataan.
Pada awal abad ke-20, kebutuhan untuk mempunyai seorang profesional yang memiliki kemampuan khusus menggerakan pendirian sekolah tinggi teknik yang disponsori oleh warga Kota Bandung. Pada saat yang sama rencana untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung sudah matang, kota ini diperluas ke utara. Distrik ibukota ditempatkan di bagian timur laut, daerah yang tadinya adalah persawahan, dan sebuah jalan raya direncanakan untuk dibuat sepanjang 2.5 kilometer menghadap Gunung Tangkuban Perahu dengan Gedung Sate di ujung selatan, dan sebuah monumen kolosal disisi lainnya. Pada kedua sisi dari gedung yang megah ini akan terdapat permukiman bagi kantor-kantor milik permerintahan kolonial.
Sepanjang bantaran Sungai Cikapundung di antara pemandangan alam terdapat Kampus Technische Hoogeschool (ITB), asrama dan bagian pengurus. Bangunan tua kampus ini dan pemandangannya mencerminkan arsiteknya yang genius, Henri Maclain Pont. Di bagian barat daya disediakan untuk rumah sakit dan Institute Pasteur, di lingkungan pabrik kina yang tua. Pembangunan ini direncanakan dengan sangat teliti mulai dari arsitekturnya dan perawatan secara detail. Tahun sebelumnya tidak lama sebelum pecahnya perang dunia ke-2 merupakan tahun keemasan bagi Bandung dan dikenang sebagai Bandung Tempoe Doeloe.
Dan di masa inilah kota Bandung mendapatkan julukannya.
5.      Tonggak Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Bandung menjadi ibukota provinsi Jawa Barat. Bandung merupakan tempat terjadinya Konferensi Bandung (KAA) pada tanggal 18 April - 24 April 1955 dengan tujuan untuk promosi ekonomi dan kerjasama budaya antara negara Afrika dan Asia, dan untuk melawan ancaman kolonialisme dan neokolonialisme oleh Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara-negara imperialis lainnya.
6.      Perkembangan Luas Permukaan Kota Bandung
Sejak dibentuknya Kota Bandung menjadi suatu daerah otonom pada 1 April 1906, Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan permukaan wilayah daerahnya, yaitu sebagai berikut:
§  Tahun 1906 - 1917, Pada hari pembentukan kota Bandung menjadi daerah otonom tanggal 1 April 1906 mempunyai luas 1.912 Ha
§  Tahun 1917 - 1942, Sejak tanggal 12 Oktober 1917 daerah kota Bandung telah diperluas menjadi 2.871 Ha
Berdasarkan penelitian dan penelaahan dari seorang ahli bangunan kota, Prof. Ir. Thomas Karsten bahwa pada tahun 1930 telah direncanakan perluasan daerah kota Bandung dalam jangka waktu 25 tahun berikutnya.  Perlunya perluasan tersebut dari 2.871 Ha menjadi 12.758 Ha berdasarkan pertimbangan bahwa penduduk kota Bandung dengan pertambahan normal pada akhir 1955 diperkirakan akan menjadi 750.000 jiwa, rencana ini dikenal dengan sebutan "Plan Karsten".
7.      Renungan
Kota Bandung saat ini sudah mengalami evolusi. Dahulu pernah dijuluki Parijs van Java, namun kini sebagian orang menganggap Bandung sudah terlalu padat, macet, dan tidak lagi sejuk. Pembangunan demi pembangunan dilakukan, yang seringkali memicu kontroversi. Para remaja pun umumnya tidak memahami sejarah kota ini sehingga mereka tidak memiliki rasa cinta terhadap kota Bandung.
Gemah Ripah Wibawa Mukti (arti: tanah subur, rakyat makmur) adalah sepenggal kalimat yang menjadi motto Kota Bandung dalam perkembangannya. Bila kita bandingkan, hal itu sangatlah tidak relevan dengan kondisi Kota Bandung masa kini. Bila kita ingin mewujudkan motto itu, sudah seharusnya kita selaku warga Kota Bandung bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung untuk mengembalikan masa kejayaan Bandung seperti dulu lagi, misalnya: dengan menjaga lingkungan kota, mewujudkan moral masyarakat Bandung yang soméah hadé ka sémah, serta menjaga nama baik Bandung. Sehingga pada akhirnya para karuhun Bandung pun bisa tersenyum melihat Kota Bandung yang berkembang dengan pesat tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisional leluhurnya.
8.      Saran
Bandungku kini sudah tua, kulitnya mulai keriput (kondisi jalanan rusak berat), dan rambutnya pun sudah banyak yang rontok (pepohonan ditebangi), tahun ini usianya genap  2 abad lebih tanggal 25 September kemarin. Berbeda dengan perayaan ulang tahun lainnya, Bandung tak perlu semarak kemeriahan baliho di sana-sini yang bertuliskan “Selamat Hari Ulang Tahun yang ke-201 Kota Bandung”, Bandung juga tak perlu kue besar, hadiah, atau ucapan selamat dari teman-teman sekalian. Bandung hanya butuh perhatian dari warga kotanya, (dalam bentuk: merawat kondisi lingkungan Bandung, memelihara kebudayaan luhur peninggalan zaman dahulu dan sebagainya) serta rasa sayang dan cinta kita dalam hidup di kota ini. Hingga pada saatnya nanti, kita semua akan tersenyum bersama Bandung dalam menyongsong hari-hari ke depan.
9.      Sumbernya Bos:
a.      Buku:
Atja & Ekajati, E. S. 1989. Carita Parahiyangan, Karya Tim PimpinanPangeran Wangsakerta. Bandung: Yayasan Pembangunan Jawa Barat.
Widjajakoesoema, R. A. 1960. Babad Pasundan . Bandung: Ganaco.
Wismulyadi, Endar. 2006. Sejarah Kelas 2 Untuk SMA. Bandung: Cempaka Putih.
Supriatna, Nana. 2006. Sejarah Untuk Kelas XI IPA Jilid 2. Bandung: Grafindo.
b.      Sumber Lain:
Ensiklopedi Nasional Indonesia 1990.
Harian Pikiran Rakyat, 21 April 2010.
Sejarah Nasional Indonesia 1990.
http://www.bandung.go.id (diakses 9 April 2010)